Beranda | Artikel
Kaidah Islam Menghadapi Kehidupan
Senin, 21 September 2020

Bismillah. Wa bihi nasta’iinu.

Allah tidaklah menciptakan kehidupan ini sebagai sebuah kesia-siaan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah; Sekali-kali tidak, demi Rabbku benar-benar kalian akan dibangkitkan kemudian diberitakan kepada kalian dengan apa-apa yang telah kalian lakukan. Dan hal itu bagi Allah sangat mudah.” (at-Taghabun : 7)

Allah menciptakan manusia dan mengabarkan bahwa kelak mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka selama hidup di dunia. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwasanya Kami menciptakan kalian dengan sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami. Mahatinggi Allah Sang Raja Yang Mahabenar, tiada ilah/sesembahan -yang benar- kecuali Dia.” (al-Mu’minun : 115-116)

Adalah sebuah kemustahilan ketika Allah menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya dan berbagai kejadian yang muncul kemudian tidak ada hikmah dan tujuan di balik itu semuanya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa dia akan dibiarkan begitu saja/sia-sia.” (al-Qiyamah : 36)

Kita telah menjumpai berbagai bentuk cobaan dan musibah yang menerpa, apakah itu gempa bumi, gunung meletus, banjir, tanah longsor, tsunami, dan wabah pandemi yang ini masih meliputi berbagai penjuru bumi. Tentu tidak mungkin itu semuanya terjadi begitu saja tanpa ada Dzat yang menakdirkan dan menguasainya. Karena musibah yang dulu menimpa pun berlalu dan berganti dengan kenikmatan dan kelapangan. Begitu pula musibah yang kini mengelilingi yakinlah bahwa musibah ini pun akan berganti dan bisa kita lewati.

Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira mereka dibiarkan begitu saja mengatakan ‘Kami telah beriman’ lalu mereka tidak diberikan cobaan. Sungguh telah Kami beri cobaan kepada orang-orang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui/melihat siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang pendusta.” (al-’Ankabut : 2-3)

Inilah sunnatullah dengan menetapkan adanya kesenangan dan kesempitan, adanya kemudahan dan kesulitan, rasa semangat dan rasa malas, kekayaan dan kemiskinan, bahkan terkadang orang-orang beriman pun harus merasakan tekanan dan penindasan dari musuh-musuhnya atau harus berjuang melawan musuh, inilah dinamika kehidupan yang pasti akan dijumpai oleh orang-orang yang mengaku dirinya kaum beriman (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 626)

Tidak ada yang bisa selamat dari berbagai bentuk cobaan dan ujian hidup kecuali mereka yang membekali dirinya dengan iman yang tulen dan amal salih nan tulus. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam sebuah surat yang kita telah hafal (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)

Orang yang beriman melandasi hidupnya dengan penghambaan kepada Allah dan menjauhkan diri dari pemberhalaan. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)

Adapun orang-orang kafir mengabdikan dirinya kepada hawa nafsu dan setan. Mereka dijerumuskan dalam kegelapan demi kegelapan karena lebih memperturutkan hawa nafsu dan bisikan setan. Adapun kaum beriman diberikan pertolongan dan perlindungan oleh Allah; sehingga Allah keluarkan mereka dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Cahaya ilmu dan iman, cahaya islam dan ketakwaan.

Allah berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya. Sedangkan orang-orang kafir maka penolong mereka adalah thaghut; yang justru mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan…” (al-Baqarah : 257)

Karena itulah, setiap rasul yang diutus oleh Allah selalu berpesan kepada kaumnya untuk menghamba kepada Allah semata dan menjauhi syirik kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul; yang menyerukan ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (an-Nahl : 36)

Inilah kaidah Islam dalam menghadapi berbagai dinamika kehidupan dan pernak-pernik cobaan. Menjadikan kehidupan ini sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah; tunduk kepada perintah dan larangan-Nya dan merealisasikan nilai-nilai ketakwaan. Bersyukur kepada Allah tatkala diberi limpahan nikmat dan karunia, sabar dalam menghadapi musibah dan bencana, serta senantiasa bertaubat dan istighfar dari dosa-dosa.

Dengan nikmat, Allah ingin melihat siapa hamba yang pandai bersyukur kepada-Nya…

Dengan musibah, Allah ingin melihat siapa yang sabar menghadapi takdir Rabbnya…

Dengan kesalahan, Allah ingin melihat siapa yang mau kembali dan bertaubat kepada-Nya…

Dari sanalah, seorang muslim dituntut untuk terus memperbaiki kualitas penghambaan dirinya kepada Allah; dengan mengasah keikhlasan dan memperbaiki amalan agar sesuai dengan tuntunan. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang menciptakan kematian dan kehidupan dalam rangka menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)

Bagi seorang muslim, amal adalah bagian tidak terpisahkan dari iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman terdiri dari tujuh puluh lebih cabang; yang paling tinggi adalah ucapan laa ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan salah satu cabang iman.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama/amalan dengan hanif/ikhlas, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan itulah agama yang lurus.” (al-Bayyinah : 5)  

Akan tetapi perlu diingat bahwa amal yang diterima oleh Allah adalah amal yang tidak tercampuri dengan syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu -Muhammad- dan kepada nab-nabi sebelum kamu : Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Dalam hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan dengan-Ku selain Aku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)

Maka semangat melakukan amal salih saja tidak cukup. Akan tetapi ia harus dibarengi dengan semangat dan upaya untuk membersihkan diri dari kotoran syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih, dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)

Ini merupakan kaidah dan pedoman yang sangat gamblang dalam menjalani hidup dan berbagai bentuk cobaan. Karena ibadah kepada Allah tidak ada artinya tanpa tauhid dan keikhlasan. Sebesar apapun amalan jika tercampuri syirik akan berubah menjadi malapetaka bagi pelakunya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan seandainya mereka itu berbuat syirik pasti akan lenyap semua amal yang dahulu telah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88)

Bagaimana seorang dikatakan bersyukur kepada Allah sementara di saat yang sama dia juga menghamba kepada selain Allah?! Bukankah Allah telah memerintahkan (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian; mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Bagaimana seorang dikatakan bersabar dalam menghadapi musibah apabila saat dia tertimpa musibah atau bahkan ketika lapang dia mengabdi kepada selain Allah?! Allah berfirman (yang artinya), “Maka apabila mereka sedang naik di atas kapal mereka pun berdoa kepada Allah dengan memurnikan untuk-Nya agama/amalan. Akan tetapi ketika Allah selamatkan mereka ke daratan tiba-tiba mereka kembali berbuat kesyirikan.” (al-’Ankabut : 65)

Ketahuilah wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- bahwa ibadah yang diperintahkan oleh Allah kepada kita mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai-Nya. Ibadah kepada Allah harus dilakukan dengan penuh ketundukan dan didasari kecintaan yang terdalam. Ibadah inilah yang membuat para nabi menjadi manusia-manusia mulia di hadapan Allah. Ibadah inilah yang mencetak para sahabat nabi sebagai generasi terbaik umat ini. Ibadah yang murni dan tulus kepada Allah. Ibadah yang bersih dari noda syirik dan kemunafikan.

Ibnu Abi Mulaikah berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka semuanya takut dirinya terjangkiti kemunafikan. Tiada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa imannya seperti keimanan Jibril dan Mika’il.” (disebutkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya secara mu’allaq)

Para ulama kita telah menjelaskan bahwa keimanan itu mencakup ucapan dan amalan. Ucapan dengan lisan maupun ucapan hati. Amalan dengan hati serta perbuatan anggota badan. Iman menjadi bertambah dengan melakukan ketaatan dan menjadi berkurang akibat berbuat kemaksiatan. Iman tidak cukup bermodal penampilan dan ucapan lisan. Iman juga tidak cukup dengan keyakinan hati tanpa pembuktian dengan amal anggota badan.

Iman kepada Allah itu mencakup keyakinan Allah sebagai satu-satunya pencipta dan penguasa alam, Allah satu-satunya yang berhak disembah, dan Allah satu-satunya pemilik kesempurnaan nama dan sifat. Keyakinan yang menumbuhkan ketaatan kepada Allah dengan anggota badan. Keyakinan yang melahirkan ibadah kepada Allah serta tunduk kepada perintah dan larangan. Hasan al-Bashri berkata, “Bukanlah iman itu cukup dengan berangan-angan atau menghiasi penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan.”

Dari sinilah, maka seorang muslim menyadari bahwa perjalanan hidup ini selalu membutuhkan sentuhan iman, gerakan ibadah, dan nafas ketaatan yang mengalir dari mata air keikhlasan. Amalan-amalan tidak hanya dilihat dari lahiriahnya. Akan tetapi ia juga sangat ditentukan oleh faktor batin yang ada dalam hati pelakunya; apakah itu keikhlasan dan keimanan. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama; bahwa amal-amal itu akan berbeda nilai dan tingkat keutamaannya disebabkan apa-apa yang ada di dalam hati pelakunya.

Apabila umat Islam terluka dan tertimpa musibah, maka sesungguhnya orang kafir pun mengalami hal yang sama. Akan tetapi orang beriman memiliki nilai lebih disebabkan mereka mengharapkan di sisi Allah pahala; sesuatu yang sama sekali tidak bisa diharapkan oleh orang-orang kafir. Musibah bagi kaum beriman akan berubah menjadi ladang pahala. Adapun bagi orang kafir, nikmat justru berubah menjadi bencana. Maka di sinilah letak kesyukuran yang semestinya dibangun dalam jiwa kaum beriman. Syukur atas pahala yang Allah berikan kepada orang-orang yang sabar. Karena Allah berikan pahala atas kesabaran itu dengan balasan tanpa perhitungan.

Pandemi bukan berarti amal terhenti. Pandemi merupakan sarana untuk menguji pengabdian dan kesabaran. Sejauh mana keimanan itu melahirkan amal dan ketaatan. Sejauh mana iman itu menumbuhkan kepekaan dan kepedulian. Sebagaimana panasnya api memurnikan emas dari kotoran; maka begitu pula terpaan musibah akan membersihkan hati dari ketergantungan kepada selain Allah. Lihatlah ucapan Ibrahim ‘alaihis salam ketika dilemparkan ke dalam kobaran api; hasbunallahu wa ni’mal wakiil; Cukuplah bagi kami Allah, dan Dia lah sebaik-baik penolong…

Lihatlah ketegaran Musa ‘alaihis salam ketika lari dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya lalu mereka terdesak di tepi lautan sehingga pengikut Musa khawatir tertangkap musuh. Beliau pun berkata dengan penuh keyakinan (yang artinya), “Sekali-kali tidak, sesungguhnya bersamaku Rabbku; Dia yang akan memberi petunjuk kepadaku.” (asy-Syu’ara : 61)   


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/kaidah-islam-menghadapi-kehidupan/